Berbagai peristiwa yang terjadi selama satu dasawarsa terakhir cukup menyediakan alasan bagi kita untuk bertanya kembali tentang wawasan kebangsaan masyarakat Indonesia.
Menguatnya berbagai Konflik yang melibatkan perbedaan etnis, agama, dan kaum minoritas serta maraknya aliran keagamaan dan idiologi negara baru.
jika kondisi demikian terus bergulir, gesekan sosial yang bersifat vertikal akan dengan sendirinya menyatu dengan yang horizontal untuk kemudian berkembang menjadi persoalan Nasional.
Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini. Bangsa Indonesia telah menampilkan suatu pola kehidupan beragama yang dituangkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, bahkan lebih dari itu, terdapat aset nilai-nilai agama dakam suratan konstitusi UUD 1945 yang cukup besar untuk dapat dikembangkan.
Daftar isi
Peran Tokoh Islam Indonesia dalam Membangun & Melaksanakan Pilar Kebangsaan

Usaha para tokoh Islam untuk membangun pilar-pilar kebangsaan dan melaksanakannya dalam sebuah negara kesatuan Republik Indonesia, sesungguhnya memiliki dengan kemiripan dengan yang dilalukan oleh Nabi Muhammad SAW sebagaimana tertuang dalam Piagam Madinah (Mitsaq al-madinah).
Di dalam dokumen tersebut Nabi Muhammad SAW mempersatukan antara kaum Muslim dari suku Quraisy dan Yatsrib, antara kaum Muhajirin dan Anshar.
Orang-orang Muhajirin dari suku Quraisy tetap berpegang pada adat-istiadat mereka, yaitu saling membantu dalam membayar dan menerima uang tebusan darah di antara mereka.
Dokumen tersebut memberikan jaminan dan perlindungan pada semua warga untuk menjalankan ibadahnya masing-masing,
serta mengamalkan nilai-nilai budaya yang dimilikinya, namun di antara mereka harus mengembangkan sikap toleransi, tolong menolong dalam membela dan mempertahankan kedaulatan negara, dan harus berjanji setia untuk hidup sebagai sebuah bangsa.
Islam dan Wawasan Kebangsaan sebagaimana yang digagas oleh tokoh agama tersebut memperlihatkan,
bahwa hubungan Islam dengan negara di Indonesia tidak didasarkan pada logo, simbol, atau namanya yang bersifat formal, melainkan lebih pada isi dan substansinya.
Yakni, walaupun dasar kebangsaan negara kita bukan syari’at Islam, namun pilar-pilar kebangsaan Indonesia ini sangat menjamin, melindungi, dan menyuburkan pelaksanaan nilai-nilai ajaran Islam dalam berbagai bidang kehidupan:sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, dakwah dan sebagainya.
Baca Juga : Situasi Indonesia 1930
Wawasan keIslaman tanpa disertai dengan wawasan kebangsaan

Majelis Ulama Indonesia sebagai Organisasi Masyarakat sudah semestinya memeiliki dua wawasan utama yaitu wawasan Ke-Islaman dan wawasan Kebangsaan.
Wawasan keislaman penting karena ia merupakan landasan pokok yang selanjutnya akan menjadi sumber sekaligus spirit dalam menjalankan dan mengembangkan organisasi dakwah.
Sedangkan wawasan kebangsaan penting karena organisasi dakwah yang dimaksud tumbuh dan berkembang di sebuah Negara-Bangsa (Indonesia), untuk itu sikap nasionalisme menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi.
Oleh karenanya, pengurus dan anggota MUI sebagi basis Ormas terbesar harus memiliki wawasan keislaman dan kebangsaan yang komprehensif, tidak hanya paham namun juga harus diinternalisasi dan diamalkan disetiap gerak langkah dalam menjalankan roda organisasi.
Wawasan ke-Islaman tanpa disertai dengan wawasan kebangsaan dapat berdampak pada melemahnya sikap nasionalisme.
Tanpa wawasan kebangsaan yang kokoh, organisasi dapat terjebak pada sikap fanatik berlebihan, yang pada akhirnya dapat berdampak pada sikap intoleran pada organisasi dan bahkan keyakinan lain yang tidak sama.
Karena, sudah menjadi fakta bahwa penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, dan kecenderungannya para pemeluk Islam telah berafiliasi pada organisasi dakwah atau ormas Islam tertentu.
Sehingga sangat logis jika wawasan kebangsaan para kader-kader ormas Islam atau organisasi dakwah melemah, maka akan berdampak pada melemahnya institusi Negara.
Relasi Agama (Islam) dengan negara senantiasa menuai perdebatan yang tidak ada habisnya. Sejak jauh sebelum Indonesia merdeka hingga saat ini tema tersebut senantiasa ramai diperbincangkan.
Tidak hanya diperbincangkan namun sebagian kalangan sudah mulai membuat gerakan yang memuat ide pendirian khilafah islamiyah, ingin menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam dengan berbagai aturanya pun harus mengacu pada hukum Islam.
Setidaknya ada tiga macam respon dalam menaggapi relasi Islam dengan Negara menurut Gus Dur, yaitu respon integrative, respon fakultatif, dan respon konfrontatif.
Integratif, berarti Islam sama sekali dihilangkan kedudukan formalnya dan umat Islam tidak menghubungkan ajaran agama dengan urusan Negara.
Responsif fakultatif berarti jika kekuatan gerakan Islam cukup besar di parlemen maka mereka akan berusaha membuat perundang-undangan yang sesuai dengan ajaran Islam. Kalau tidak, mereka juga tidak memaksakan, melainkan menerima aturan yang dianggap berbeda dari ajaran Islam.
Konfrontatif, merupakan sikap penolakan tanpa kompromi terhadap kehadiran hal-hal yang dianggap tidak islami.
Wallahualam..
KH. Hamdi Ma’ani Ketua Umum PB MALNUĀ